Latest News

Menunggu di ruang rindu

Posted by Lentera on Sabtu, 19 Juni 2010 , under | komentar (0)



Dedaun yang ikut mengalir lembut
terbawa sungai ke ujung mata
Dan aku mulai takut terbawa cinta
menghirup rindu yang sesakkan dada
Jalanku hampa dan ku sentuh dia,
terasa hangat di dalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu,
tak urung jua ku lihatnya pergi
(Letto)
*****

Hari ini untuk kesekian kalinya aku harus kontrol ke rumah sakit, sebenarnya aku jenuh, membayangkan ke rumah sakit saja aku malas. Tergambar dalam memoriku tentang landscape rumah sakit dimana semua orangnya tergeletak tak berdaya, pasien yang dicekoki sejumlah selang dan peralatan medis lainnya, pelayanan yang kaku, serta pegawai yang berpakaian serba putih membuatku merinding membayangkan sejumlah malaikat sedang menunggu antrianku di lorong kematian.
Namun hari ini aku tak berdaya, penyakit sesak ku sedang rindu dan tak ingin segera pergi, belum lagi aku sering pucat dan pingsan, akhirnya mengantarkan ibuku pada sebuah kesimpulan bahwa aku harus periksa ke dokter.
Aku merasa lelah sekali terbangun Pagi ini, kamar VIP dengan segala fasilitas wah tak membuat tidurku nyenyak, segala gadget yang kupunyai tak mampu mengusir kesepianku, kepalaku pening bahuku terasa berat, masih asyik bermalas-malasan tiba-tiba dokter yang menanganiku masuk
“Selamat pagi dek” sapa dokter
“Pagi Dok” jawabku singkat
“Orang tuamu mana?”
“Belum datang dok, biasanya datang malam, maklum sibuk, emang ada apa dok?”
“Mmm.. ini hasil pemeriksaan labmu sudah ada dan diagnosanya pun sudah pasti”
“Memangnya saya sakit apa dok?”
“Mungkin baiknya saya bicara dengan orang tuamu dulu”
“DOK.. YANG SAKIT ITU SAYA, SAYA BERHAK TAHU SAYA SAKIT APA!!!” ujarku dengan nada meninggi
Dokter tadi menghela nafas panjang lalu dengan lirih berkata
“Kamu didiagnosa Leukimia atau kanker darah”
“Nanti kalo orang tuamu datang suruh menghadap saya”
“Yang sabar dek ya”
Aku menoleh tak memperhatikan dokter tadi pergi, serasa ada embun di mataku, rupanya penyakit leukimia inilah yang selama ini yang merenggut kebebasanku, yang menghalangi aktivitasku. Tiba-tiba aku merasa gadis paling malang di dunia. Orang tuaku bercerai, ibuku sibuk dengan karirnya, tak pernah aku bisa berbicara dengannnya lebih dari lima menit kecuali relasinya selalu menginterupsi lewat telepon, kadang hanya hanya bertemu lewat sms, jika tak sempat pamit dia hanya bisa nitip pesan di meja riasku “Naila sayang ibu pergi dulu, mungkin pulangnya agak larut, makan yang banyak ya, peluk cium ibunda”, sedangkan ayahku?? Seingatku ia datang setahun lalu saat aku ulang tahun yang ke 19, bukan dengan fisiknya namun lewat karangan bunga yang bertuliskan “SELAMAT ULANG TAHUN SAYANG” bersama setumpuk hadiah, padahal bukan itu yang kuharapkan dari dia, saya butuh perhatiannya, ah.. mungkin aku terlalu berharap, tapi apa saya salah berkharap kasih sayang dari orang tua?? Aku seperti padang gersang yang berdoa akan turunnya hujan. Mungkin suatu saat aku meninggal ayah hanya akan datang dengan karangan bunga lagi yang bertuliskan “TURUT BERDUKA CITA”. Perasaanku makin sakit, perih, akhirnya semua perasanku saya tumpahkan. Aku rindu nenek ku, dengan keterbatasan fisiknya ia masih mampu menyayangiku, darinya lah aku belajar arti kasih sayang, sayang ia tak bisa hadir disini mengobati kerinduanku, mengusap kepalaku, membelai rambutku karena fisiknya tak membiarkannya pergi jauh berkendaraan.
Tok.Tok..Tok.. tiba-tiba ada yang mengetuk pintu,
“Masuk..” ucapku dengan nada berat sambil menyeka air mataku
“Selamat pagi mba naila, saya perawat jaga malam mau operan dengan perawat jaga pagi, sekalian juga mau jelaskan kondisi dan terapi mba naila ke rekan saya” ujar perawat berjilbab itu ramah
Saya Cuma mengangguk pelan dan memperhatikan sekilas perawat pria yang disampingnya, mukanya seperti asing, tidak seperti perawat lain yang bergantian menjagaku dan wajah mereka sudah familiar. Aku dengan seksama mendengarkan penjelasan ners Linda, seperti yang tertulis di papan namanya. Walau terkadang ada bahasa yang tidak kumengerti karena dia menjelaskan ke rekannnya dengan menyelipkan istilah kedokteran yang masih asing dan ribet di telingaku.
“Jadi mba Naila, pagi ini saya yang akan merawat mba, oh ya nama saya ners Fadhil, mulai sekarang juga saya yang akan menjadi perawat penanggung jawab mba, kalo mba butuh bantuan hubungi saya saja di Nurse station” ujar pria tadi dengan nada sopan namun penuh wibawa
“Ners Fadhil-nya baru datang mba dari Jogja habis pelatihan, makanya mungkin mba naila belum pernah lihat, tambahan lagi ners fadhil ini masih single lho mba” Ujar ners linda sambil tersenyum. Pria tadi Cuma tersenyum simpul.
*****

“Mba naila masih kuliah?” tanya ners fadhil suatu ketika saat ia sedang memasukkan injeksi intravena
“Iya” jawabku singkat
“Jurusan apa mba?” tanyanya lagi
“Ilmu komunikasi”
“Semester tiga ya sekarang?”
“Kok tahu”
“Cuma nebak aja” ujarnya tersenyum
Seperti biasa ia mengajakku bicara saat dia melakukan tindakan, membuatku tidak merasa jadi kelinci percobaan, terkadang juga tanpa saya minta ia menjelaskan untuk apa ia terapi itu dilakukan, obat yang diapakai gunanya apa. Ners Fadhil yang air mukanya begitu tenang, wajahnya putih bersih, jenggot tipis di ujung dagunya semakin menegaskan kelaki-lakiannya. Terkadang dengan sejenak mengajakku berbicara ia berhasil mengusir kesepian yang selama ini menggelayut seperti awan hitam yang akan menumpahkan hujan 100 hari. Ia seperti mengeluarkan senyawa yang membuatku betah dekat dengannya. Kekagumanku semakin bertambah dengan prilakunya yang sopan terhadap perempuan rekan kerjanya termasuk aku pasiennya. Pernah malam-malam aku terbangun dan ingin mencari udara segar, namun aku terhenti di pintu karena melihat dia berjaga sendirian di Nurse station ditemani mushaf kecilnya dengan lantunan suara tilawah yang sangat merdu. Dia bahkan tidak menyadari saat aku sudah berada dekat dengannya, aku sengaja lewat dekatnya agar ia melihatku, aku ingin lihat reaksinya.
“Mau kemana mba?” tanyanya kaget
“Mau cari angin” jawabku
“Aduh mba, ini sudah larut, harusnya mba istirahat, kembali ke kamar ya..”
pintanya
“Sebentar saja ya di luar, ngga apa-apa kan?”
“Maaf mba saya tidak bisa mengizinkan mba keluar”
“Iya deh” ketusku sambil memasang muka cemberut, walaupun sebenarnya aku senang karena dia menaruh perhatian.
Aku lalu berjalan kembali ke kamarku, namun baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba pandanganku berputar, dan jalanku limbung, aku lalu mencari tempat berpegang namun tak kusangka lengan Fadhil telah dengan cekatan memegangku.
“Kenapa mba?” tanyanya cemas
“Entahlah, saya tiba-tiba pusing”
“Tuh kan saya bilang apa, saya antar ke kamar ya..”
Saya senang sekali saat itu, dia membimbingku sampai di kamar dan menyelimutiku. Terus terang saya menyukai Ners Fadhil, dari caranya berbicara dan memperlakukanku tapi saya yakin dia profesional, bukan memanfaatkan kesempatan karena kelemahan kondisiku karena yang saya lihat dia sangat berhati-hati, dia tidak akan menyentuhku kecuali itu memang terpaksa ia lakukan karena tuntutan terapi yang ia lakukan.
*****

“Leukimia itu apa sih?” tanyaku suatu ketika dia sedang mempersiapkan premedikasi kemoterapi
“Mmm gimana ya cara menjelaskannya?” ujarnya sambil menggaruk kepala
“Susah ya pertanyaannya?” tanyaku lagi
“Nggak sih, Cuma saya takutnya saya jelaskan dan mba ngga ngerti”
“Jelaskan aja, nanti saya coba jadi pendengar yang baik
“Begini, dalam tubuh kita ada yang disebut antibodi yang fungsinya melawan penyakit yang masuk atau yang disebut antigen, kayaknya sudah kita pelajari deh sejak SMP, ya kan?”
“He eh”
“Nah antibodi yang dimaksud disini adalah sel darah putih atau yang disebut leukosit, gampangnya si darah putih ini berfungsi seperti tentara yang akan menyerang pemberontak yang menyerang” dia kembali melanjutkan
“Nah, dalam kasus leukimia, tiba-tiba jumlah sel darah putih ini meningkat drastis”
“Kok bisa?” selaku memotong penjelasannya
“Ada banyak faktor sih, bisa karena gen, bisa karena radiasi, tapi sebagian besarnya belum diketahui penyebabnya apa, dalam ilmu kedokteran kami menyebutnya idiopatik”
“Nah karena jumlahnya banyak dan nggak ada musuh saat itu, si sel darah putih jadinya kurang kerjaan, dia mulai menyerang sel lain yang sehat hal inilah yang disebut autoimun dimana tubuh memakan sendiri bagian tubuh yang lain, begitu kira-kira penjelasannya mba” ujarnya sambil sedikit tersenyum
“Ooo...” ujarku sambil mengangguk”
“Mba sering batuk kan?”
“Iya” jawabku
“Batuknya itu karena sel darah putih itu menyerang paru-paru mba”
“Olehnya itu kami berikan kemoterapi untuk menekan pertumbuhan sel kemoterapi yang tidak terkendali, namun karena obat kemoterapi obat keras maka efeknya sampingnya juga tinggi, misalnya rambut mba akan gugur selama kemoterapi, tapi nanti bakalan tumbuh lagi kok”
“Kira-kira saya masih bisa sembuh nggak?” ucapku sambil menatap langit-langit kosong Dia menghentikan tindakannya, menatapku sejenak lalu menghela nafas panjang
“Mba Naila..., yang namanya sembuh bukan wewenang kami tenaga kesehatan, kami cuma berusaha sebaik yang kami bisa, permasalahan apa nanti mba sembuh atau tidak itu hak prerogatifnya Allah, kita Cuma bisa berikhtiar, itulah kenapa kita selalu diajari mengucapkan Innalillhai wa innailaihi rojiuun, segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepadanya, penyakit itu musibah mba, maka mintalah kesembuhan pada-Nya”
Aku terdiam menatapnya, bukan hanya terapi sebagai tenaga kesehatan yang bisa ners fadhil berikan padaku tapi juga dukungan spiritual, kapan orang tuaku terakhir kali berkata hal yang sama kepadaku?, mengajariku agama, bahkan saya sudah tidak ingat lagi. Tiba-tiba saya merasa begitu kecil di hadapannya, pantaskah saya mengharapkannya? Pantaskah saya merindukannya?.
*****

“Kriteria calon istri mas Fadhil kayak gimana sih” tanyaku iseng suatu saat
“Kok nanyanya kayak gitu?” jidatnya berkerut
“Kenapa, nggak boleh”
“Mmm.. aneh saja, kok tiba-tiba nanya masalah itu?”
“Dijawab saja kenapa?”
“Sebenarnya pertanyaan mba privat sekali, saya jawab secara umum saja ya”
Aku menganggup penasaran
“Kriteria saya cuman tiga, pertama kalo saya lihat saya senang, kedua kalo saya perintah ia taat, ketiga kalo saya tinggalkan ia bisa menjaga diri”
“Itu aja? Ga ada yang lain? Gak mau yang cantik misalnya?’
“Cantik itu di rasa mba bukan di bendanya, kalo saya senang sama dia, kalo saya suka lihat dia, dia itu cantik bagi saya.”
“Nggak mau yang pake jilbab?”tanyaku hati-hati
“Hi..hi.. kalo yang kayak gitu nggak usah dibilang mba, seperti masak misalnya, nggak usah disebutkan kan?”
“Intinya Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah istri solehah, kata kuncinya solehah, sudah ya” ujarnya segera bergegas
Sepertinya dia tahu saya sedang berusaha mengorek-ngorek info dari dia
*****

Ners fadhil yang baik
Engkau selama ini kuanggap berhasil mengisi suatu ruang dalam hatiku,
Menjadi sosok lelaki panutan, hal yang tidak kudapatkan dari ayahku.
Engkau seperti embun yang membasahi hatiku yang dahaga,
Aku merasa hidup tidak lama lagi, sejak kemoterapi terakhir aku merasa semakin lemah, apakah sebentar lagi aku akan menghadapmu Tuhan?
Bisakah engkau bermurah hati Tuhan?
Memanjangkan umurku sedikit saja, aku ingin engkau melihatku sembuh, aku ingin memperbaiki diri, aku ingin memakai jilbab seperti anjuranmu.
Tapi jika Engkau tidak memberikan waktu lagi untukku Tuhan,
Aku akan menunggunya,
Aku akan terus menunggunya
Meskipun dia tidak tahu bahwa aku menunggunya
Ruang rinduku akan selalu kubuka untuknya
Meski kerinduan itu harus kubawa ke alam lain
Aku tetap akan menunggunya....
Aku tidak sanggup lagi melanjutkan tulisan di diariku, nafasku semakin sesak, pandanganku berputar, kucoba meraih tombol alarm untuk memanggil petugas, kucoba sekuat tenaga melawan sakit yang sangat, kemudian sejenak aku merasa ringan.. ringan sekali...